Bismillahi Rahman Rahim
BAB PERTAMA
ILMU
Pada bab pertama ini terdapat tujuh pasal yang berkaitan dengan keutamaan
ilmu, belajar dan mengajar.
Pasal pertama; keutamaan ilmu, belajar dan mengajar.
Pembahasan tentang keutamaan ilmu banyak ditemukan dalam al-Qur'an. Di
antaranya, firman Allah SWT;
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ
Artinya; " Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Ibnu Abbas berkata; "Derajat orang yang berilmu lebih tinggi tujuh
ratus derajat dari pada orang-orang mu'min, dan jarak di antara satu derajat ke
derajat lainnya tujuh ratus tahun."
Allah SWT berfirman; "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?".
Di lain ayat; "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama."
Di lain ayat, "Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu."
Dalam hadits Nabi, Rasulullah Saw bersabda; "Seutama-utama hamba
adalah mu'min yang berilmu, jika dibutuhkan maka dia akan bermanfaat bagi orang
lain. Dan jika minta pertolongan, maka akan selalu merasa cukup dengan apa yang
diterimanya."
Di lain hadits, beliau bersabda;
اَلْإِيْمَانُ عُرْيَانٌ وَلِبَاسُهُ التَّقْوَى, وَزِيْنَتُهُ اَلْحَيَاءُ, وَثَمْرَتُهُ
اَلْعِلْمُ.
Artinya; "Iman itu (sifatnya) telanjang. Pakaiannya adalah taqwa,
perhiasannya adalah hidup sejahtera, dan buahnya adalah ilmu."
Dan juga bersabda; "Sedekat-dekat derajat manusia kepada derajat
para Nabi adalah golongan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang ikut
berjihad. Adapun golongan yang berilmu, adalah selalu menuntun ke jalan para
Rasul. Sementara, kelompok orang yang ikut berjihad adalah mereka yang berjihad
dengan peralatan perangnya sejalan dengan ala perangnya para Rasul".
Nabi bersabda; "Orang yang berilmu adalah kepercayaan (wakil) Allah
di muka bumi."
Nabi bersabda; "Golongan yang memperoleh syafa'at pada hari kiamat
adalah golongan para Nabi, kemudian golongan Orang-orang yang berilmu, lalu
para syuhada."
Fath al-Mushilî berkata; "Bukankah orang sakit yang sudah tidak bisa
makan, minum dan makan obat akan menemui ajalnya?" Di jawab:
"Ya. Beliau berkata lagi: "Demikian pula dengan hati, jika
sudah tidak bisa menerima kata-kata hikmah maupun ilmu selama tiga hari, maka
(hati) mati. Sangat benar, karena sesungguhnya menu makanan buat hati adalah
ilmu dan siraman kata-kata hikmah. Namun, hati sudah tidak dapat menerimanya
lagi, karena disibukan oelh urusan duniawi sehingga menghapus fungsi hati.
Ketika kematian telah mendekat kepadanya, sedangkan ia disibukkan dengan urusan
duniawi, maka hati akan merasakan sakit yang tidak terkira perihnya dan terus
menerus tanpa akhir." Inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Saw, "Manusia
itu tidur (lalai), maka jika mereka mati, barulah manusia bangun (sadar)."
Adapun keutamaan menuntut ilmu, ditegaskan dalam satu hadits Nabi, "Sungguh
para malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya (merendahkan sayap-sayapnya
untuk memberi perlindungan) bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa mereka
lakukan."
Di hadits lain, Nabi bersabda, "Jika kemampuanmu hanya mempelajari
satu bab ilmu, maka itupun lebih baik dari pada shalat sebanyak seratus
rakaat."
Abu Darda' berkata, "Barang siapa yang tidak memandang bahwa
menuntut ilmu merupakan jihad, maka sungguh ia telah berpikir keliru dan
salah."
Adapun keutamaan mengajar, ditegaskan dalam salah satu ayat,
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ.
Artinya, "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari
orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan
isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,"
Ketika Rasulullah membaca ayat ini, beliau bersabda, "Allah SWT
tidak pernah memberi ilmu kepada seorang alim kecuali didahului dengan suatu
perjanjian, sebagaimana yang telah diberlakukan kepada golongan para Nabi agar
engkau menjelaskan dan tidak menyembunyikannya."
Ketika Rasulullah Saw menutus sahabat Mu'adz ke negeri Yaman, beliau
berkata,
لَئِنْ يَهْدِي اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا, أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَمَا فِيْهَا.
Artinya, "Petunjuk yang diberikan Allah kepada seseorang lewat
perantaramu, adalah lebih baik bagimu daripada dunia berserta isinya."
Umar radhiyallahu 'Anhu berkata, "Barang siapa yang menceritakan
suatu hadits lalu mengamalkannya, baginya pahala sebesar pahala amal itu."
Muadz bin Jabal berkata mengenai belajar dan mengajar ilmu yang diriwayatkannya
dengan marfu' "Belajarlah ilmu, karena mempelajari suatu ilmu karena
Allah adalah kebaikan, menuntut ilmu adalah ibadah, pengkajiannnya adalah
tasbih, penelitiannya adalah jihad, mengajarkannya kepada yang tidak tahu
merupakan sadaqah dan memberikan amanah kepada
ahlinya adalah pendekatan diri kepada Allah. Ilmu menajdi penghibur di
kala sepi, teman di kala sendiri, dalil saat berbicara tentang agama, petunjuk
di kala senang dan sempit, teman dan pembantu di setiap keadaan dan obor
penerang jalan menuju ke surga. Dengannya Allah mengangkat derajat suatu
golongan dan menempatkannya pada tempat yang terhormat dan menjadi petunjuk
baginya dalam memimpin dan kebaikan bagi yang dipimpin. Jejak mereka diikuti
dan perilaku mereka diteladani. Para Malaikat melindungi mereka dengan
sayap-sayapnya yang mengembang. Setiap benda, baik kering maupun basah memohon
ampunan baginya, hingga ikan-ikan di laut dan binatang-binatangnya, hewan-hewan
buas dan binatang ternak di darat serta burung-burung di langit."
Ilmu dapat menghidupkan hati, penerang mata dari kegelapan, penguat jasmani
dari kelemahan sehingga dapat mengangkat derajat hamba ke tingkat golongan
orang-orang shaleh. Berpikir dengan ilmu sama nilainya dengan pahala puasa dan
mengkajinya sebanding dengan shalat malam. Dengan ilmu, manusia ta'at kepada
Allah, menyembah-Nya, meng-Esakan-Nya, memiliki sifat rendah diri, menyambung
dan mempererat tali silaturrahim. Ilmu adalah pemimpin dan amal shaleh
pengikutnya. Orang yang berilmu adalah hamba yang bahagia, sebaliknya yang
tidak berilmu menjadi orang yang sengsara.
Dari sudut akal, tidak dapat disangkal bahwa ilmu adalah sesuatu yang
utama. Dengan ilmu, manusia dapat sampai dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Yaitu kebahagiaan abadi dan kenikmatan kekal yang tiada berujung. Dengan ilmu,
manusia meraih kemuliaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Dunia adalah lahan amal untuk bekal di akhirat. Seseorang yang mengamalkan
ilmunya, maka akan menuai hasilnya buat dirinya, berupa bahagia selamanya
karena telah mendidik akhlaknya dengan tuntunan ilmu. Demikian pula kebahagiaan
yang kekal bagi mereka yang mengambil faedah dari orang yang berilmu lewat
proses belajar mengajar. Orang yang mengajar memberi nasehat dan bimbingan
akhlak kepada manusia, dan dengan ilmu pula mengajak mereka mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Dalam satu firman-Nya, "Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik."
Orang berilmu menyeru orang-orang khawas dengan hikmah, mengajar
orang-orang awam dengan nasehat dan bimbingan serta menghadapi pembangkang
dengan jadal. Dengan itu, ia menyelamatkan dirinya dan orang lain. Gambaran
seperti inilah yang dipandang sebagai sosok hamba yang sempurnah.
Pasal kedua
Pembahasan Ilmu Yang Bermanfaat Dan Ilmu Yang Tercela Serta Penjelasan
Fardhu ‘Ain Dan Fardhu Kifayah
Rasulullah Saw bersabda,
"طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ".
Artinya: “Menuntut ilmu
diwajibkan bagi setiap muslim”.
Kewajiban menuntut ilmu seperti hadits di atas diwajibkan bagi orang muslim
dan yang telah mencapai usia balig. Di antaranya mempelajari kalimat dua
syahadat dan maknanya, dan bukan pada kewajiban hukum dalil-dalinya. Cukup
baginya dengan meyakini tanpa ada keraguan meskipun diketahuinya dengan taklid.
Demikian, apa yang telah dicontohkan Rasulullah Saw kepada umatnya yang
baru memeluk Islam. Setelah itu, berlanjut kepada pengajaran ibadah-ibadah
lainnya, seperti shalat, puasa dan lain-lain menurut tingkatan perintah yang di
antaranya turun secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, ketika perintah
shalat , maka beliau menyuruh ummatnya mempejari tata aturan shalat. Demikian
pula diberlakukan kepada ibadah-ibadah lain, puasa dan zakat bagi mereka yang
memiliki harta benda dan sudah mencapai haul semenjak memeluk Islam. Diwajibkan
baginya sesuai dengan kadar keperluan. Kemudian menyampaikan atas kewajiban
untuk melaksanakan haji. Namun, dalam haji, tidak ada kewajiban untuk langsung
mempelajari tata atuan syariatnya, sebagaimana tidak ada kewajiban untuk
langsung menunaikannya.
Hal-hal lain yang diwajibkan secara langsung untuk dipelajari, yaitu yang
berkenaan dengan perintah, menjauhi larangan, maksiat dan dosa-dosa lainnya.
Alasannya adalah karena berkaitan dengan sikap dan perilaku dalam keseharian
yang bisa jadi menggoda dan menjerumuskan manusia setiap saat. Umat Nabi
Muhammad saw telah diingatkan dan diwajibkan untuk mempelajarinya, meskipun
sekedar menghilangkan rasa ragu. Mempejari pengetahuan-pengetauan seperti itu
adalah bertujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela dan
mencapai derajat kemenangan. Hasilnya adalah mencakup seluruh kewajiban yang
bersifat fardhu 'ain dan fardhu kifayah.
Ketahuilah bahwa derajat keilmuan disesuaikan dengan kadar kedekatannya
kepada ilmu akhirat. Dalam istilah lain bahwa ilmu-ilmu syari'at lebih utama
dari pada ilmu-ilmu lainnya. Ilmu dan pengetahuan yang berkenaan dengan hakekat
agama (syari'at) lebih diutamakan dari pada hukum-hukum yang dzâhir. Seorang
ahli fiqh menyampaikan hukum dzâhir sesuai dengan tingkat shahih dan tidak.
Selanjutnya, ilmu yang mempelajari tentang ibadah yang diterima dan ibadah yang
tertolak. Dalam hal ini, tergolong pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu
tashawuf, akan dijelaskan berikutnya.
Ulama-ulama terkemuka yang madzhabnya diikuti oleh banyak orang, telah
berhasil menghimpun antara ilmu fiqh dan ilmu tashawuf serta menjelaskan tata
cara mengerjakannya.
Gambaran ulama seperti di atas adalah dikenal telah tersingkap
pengetahuannya (tentang Allah). Sofyân al-Tsaurî menjelaskan bahwa setiap ulama
tersebut merupakan sosok yang ahli ibadah, zuhud dan memahami pengetahuan
tentang ilmu akhirat, sebagaimana pengetahuannya terhadap ilmu fiqh dzâhir,
atau ilmu yang berkaitan dengan maslahat-maslahat bagi manusia. Mereka memiliki
banyak pengikut atau murid serta mulia di sisi Allah SWT.
Inilah lima macam karakteristik yang dimiliki oleh ulama-ulama fiqh
sekarang ini. Di antara lima karakteristik tersebut, adalah mensyiarkan dan
menyampaikan seluruh cabang-cabang fiqh. Sedangkan, empat macam lainnya
dimaksudkan hanya untuk urusan akhirat. Adapun upaya mensyiarkan dan
menyampaikan cabang ilmu fiqh mencakup urusan dunia dan akhirat.
Selanjutnya, akan diuraikan empat karateristik lainnya, dalam hal ini Imam
Syafi'i rahimahullah, menyatakan bahwa ulama itu merupakan ahli ibadah; "Seorang
ulama membagi malam-malamnya ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga malam untuk
ilmu, sepertiga malam untuk ibadah dan sertiga lainnya untuk tidur".
Rabî' menyebutkan tentang kebiasaan Imam Syafi'i rahimahullah yang
menamatkan membaca al-Qur'an setiap hari. Al-Husain al-Karâbîsî, berkata;
"Tidak hanya sekali saya tinggal bersama Imam Syafi'i. Setiap malam beliau
menghabiskan waktunya untuk shalat selama sepertiga malam. Saya tidak pernah
melihatnya shalat dengan membaca lebih dari lima puluh ayat. Jika lebih dari
jumlah itu, beliau menggenapkannya menjadi seratus ayat. Beliau tidak pernah
melewatkan bacaan ayat-ayat tentang kasih sayang kecuali memohon kepada Allah
SWT untuk dirinya sendiri dan untuk segenap kaum muslimin dan mu'minin.
Sedangkan, ketika membaca ayat-ayat tentang azâb, beliau akan memohon ampun dan
meminta sepaya diselamatkan dari siksa kubur buat dirinya dan kaum muslimin.
Beliau seolah-olah menempatkan antara pengharapan dan kekhawatiran secara
bersama-sama. Buktinya, Imam Syafi'i hanya membaca lima puluh ayat, sementara
pengetahuannya akan rahasia-rahasia serta upaya tadabburnya kepada al-Qur'an
sangat luas."
Imam Syafi'i berkata; "Saya tidak pernah merasakan kenyang sejak
berusia enam belas tahun. Sebab rasa kenyang menjadikan badan bertambah berat,
mengeraskan hati, mengurangi kecerdasan, selalu dikuasai rasa kantuk dan membuat
malas untuk beribadah. Oleh karena itu, perhatikanlah hikmah dari mengingat
sisi negatif rasa kenyang. Kemudian bersungguh-sungguh dalam beribadah dengan
menghindari rasa kenyang dan mengutamakan ibadah dengan mengurangi porsi
makan."
Beliau juga berkata; "Saya benar-benar tidak pernah bersumpah atas
nama Allah dalam kebenaran maupun dalam kebohongan."
Imam Syafi'i rahimahullah pernah ditanya tentang suatu perkara, maka beliau
diam. Orang-orang bertanya kepadanya, "Kenapa engkau tidak menjawabnya
padahal (dengan menjawab) Allah memberimu rahmat?". Beliau menjawab, "saya merenung
apakah jawabanku lebih afdhal atau dengan diam".
Ahmad bin Yahya bin Wazîr berkata, "Suatu hari Imam Syafi'i keluar
dari pasar kerajinan tangan bersama saya dan beberapa orang. Tiba-tiba, seorang
pemuda mengucapkan kalimat-kalimat jelek dan bodoh terhadap kami dan kepada
orang yang berilmu (Imam Syafi'i). Beliau lalu melihat kepada kami, dan
berkata; bersihkan pendengaranmu dari hal-hal yang kasar sebagaimana engkau
mensucikan lidahmu dari ucapan-ucapan yang demikian. Karena sesungguhnya, orang
yang mendengarkan sama saja dengan orang yang mengucapkan. Lelaki bodoh tadi
akan melihatmu sebagai orang yang paling jelek pula, dan berupaya untuk
menarikmu dalam kejelakan. Jika engkau membalas ucapan lelaki itu maka akan
sama saja dengan orang yang berucap jahat tersebut."
Imam Syafi'i rahimahullah berkata, "Seorang hakim menulis sesuatu
kepada hakim lain. Saya telah menyampaikan suatu pengetahuan kepadamu, maka
janganlah engkau mengotori pengetahuanmu itu dengan kezaliman atau suatu dosa.
Karena perbuatan zalim dan dosa akan tetap ada saat orang-orang berilmu memohon
pertolongan dengan cahaya ilmunya."
Adapun zuhudnya Imam Syafi'i, dalam satu ungkapannya, "Siapa yang
berkata bahwa dia mampu menyatukan cinta dunia dan cinta akhirat di hatinya,
maka sungguh dia telah berbohong".
Suatu saat, tongkat Imam Syafi'i terjatuh dari tangannya, lalu seseorang
mengambil dan memberinya. Beliau lalu menghadiahinya sebesar lima puluh dinar.
Kemuliaan Imam Syafi'i lebih besar dari pada matahari.
Zuhud Imam Syafi'i yang sangat tinggi, besarnya rasa takut beliau serta
perhatian beliau terhadap urusan akhirat yang tiada henti, ditegaskan dalam
satu riwayat, bahwa Sofyan bin 'Uyaynah meriwayatkan satu kejadian tentang
seorang hamba sahaya yang jatuh pingsan di hadapan beliau. Lalu orang-orang
berkata kepadanya, bahwa si hamba telah meninggal. Beliau berkata, "Seandainya
dia meninggal, maka sungguh kematian adalah sebaik-baik zaman (waktu meninggal)
baginya".
Sebagian orang yang hadir lalu membaca ayat, "Inilah hari, saat
mereka tidak dapat berbicara. Dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan
alasan agar mereka dimaafkan." Syafi'i rahimahullah berpandangan,
warnanya telah berubah, kulitnya berkerut dan merasakan kelemahan yang sangat
besar, lalu jatuh pingsan. Ketika siuman, beliau berkata, "Aku
berlindung kepada-Mu dari orang-orang yang selalu berbohong dan dihindarkan
dari orang-orang yang lalai. Ya Allah, hanya kepada-Mulah hati orang-orang yang
'arifîn (mencapai derajat ma'rifatullah) tunduk dan berserah diri bagi
orang-orang yang merindukan-Mu. Ya Allah, anugrahkan karunia-Mu kepadaku, dan
lindungilah aku dengan perisai-Mu dan ampunilah kekuaranganku dengan
kemuliaan-Mu."
Adapun kedudukan Imam Syafi'i sebagai orang yang mengetahui rahasia-rahasia
hati, ditegaskan dalam satu riwayat yaitu ketika ditanya tentang riya'. Beliau
langsung menjawab, "Riya adalah fitnah, dasarnya hawa nafsu dengan
pandangan pada hati para ulama. Hati lebih memilihnya karena dorongan jiwa yang
buruk, maka dengan itu menyia-nyiakan amalan yang telah diperbuat.
Al-Syafi'i berkata, "Apabila engkau takut akan muncul dalam dirimu
sikap 'ujub (angkuh), maka lihat keikhlasan orang yang engkau cari, nikmat apa
yang engkau harapkan, hukuman apa yang engkau hindari, kebaikan mana yang
engkau syukuri dan cobaan mana yang engkau ingat."
Dalil yang menunjukkan bahwa beliau seorang ahli fiqh dan pandai dalam
berdebat karena Allah Ta'ala, beliau berkata; "Aku ingin agar orang-orang
dapat mengambil banyak manfaat terhadap ilmu ini dan tidak menisbahkannya
kepadaku. Hal ini menunjukkan secara tegas bahwa beliau tidak menginginkan
ketenaran dan kesenangangan yang menipu. Beliau juga berkata, "Aku
tidak pernah melihat seseorang kecuali ada kekeliruan padanya. Dan aku tidak
pernah berbicara dengan seseorang kecuali saya menginginkannya agar Allah
memberikan perlindungan kepadanya. Dan aku sama sekali tidak pernah berbicara
dengan seseorang kecuali menginginkan agar Allah agar menunjukkan baginya
kebenaran baik dalam perkataanku atau lewat ungkapannya."
Ahmad bin Hanbal rahimahullah, berkata; "Aku belum pernah
melaksanakan shalat semenjak empat puluh tahun kecuali saya mendoakan
(keselamatan) buat Imam Syafi'i."
Sementara sosok Imam Mâlik ra., Sungguh juga beliau memiliki lima
karakterisitik (sebagaimana pada diri Imam Syafi'i). Ketika beliau ditanya, "Bagaimana
pandanganmu dalam hal menuntut ilmu?" Dijawab: baik dan luar biasa,
akan tetapi lihat siapa yang mengajarkanmu sejak dari awal hingga akhir, maka
tetaplah hormat kepadanya."
Imam Syafi'i berkata, "Aku menyaksikan pada diri Imam Malik ketika
diberikan pertanyaan sebanyak delapan puluh empat persoalan. Dan beliau
berkata, bahwa delapan puluh dua persoalan tidak diketahuinya."
Adapun sifat zuhud dan wara' Imam Mâlik lebih jelas dari pada anggapan yang
mengatakan tidak.
Dan pada diri Imam Abu Hanîfah ra., ditegaskan dalam satu riwayat bahwa
sungguh beliau menghidupkan separuh malamnya dengan beribadah. Dalam satu
ungkapan yang mengatakan, "Sungguh Imam Abu Hanîfah menghidupakan malam
harinya. Dan tetap berlanjut hingga seluruh malam-malam berikutnya. Dan beliau
hanya berkata; Aku malu untuk menyebutkan apa yang tidak ada padaku."
Demikian pula pada sosok Ahmad bin Hanbal dan Sofyan, safat zuhud dan wara'
keduanya sangat banyak yang dapat diluksikan. Akan disebutkan dalam bentuk
riwayat-riwayat dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya pada buku ini yang
mendukung pernyataan di atas.
Pasal Tiga
Pembahasan Tentang Ilmu-Ilmu Yang Tercela
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu sihir, ilmu jampi (mantera), ilmu filsafat
dan semacamnya.
Ilmu sihir dan ilmu jampi keduanya menyebabkan musibah dan mudharat yang
bermacam-macam.
Sedangkan ilmu nujum (mengetahui nasib lewat ramalan bintang) adalah jenis
ilmu yang dilarang. Rasulullah Saw bersabda,
"إِذَا
ذُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا "
Artinya, "Apabila bintang-bintang tersebut disebut maka
diamlah."
Sabda Rasulullah pada hadits di atas adalah perintah untuk diam, karena
manusia gemar menyelediki sebab-sebab, yaitu lewat perantara-perantara yang
nyata maupun yang dikhayalkan. Barangkali dengan sebab itu, ia menjadi lalai
dari Dzat Yang menyebabkan segala sesuatu, yaitu Allah SWT.
Adapun filsafat menyebabkan bertolak belakang dengan syari'at. Tidak
diingkari bahwa ilmu hitung adalah sesuatu yang tidak dapat ditentang
kebenarannya, namun ia menjadi pengantar kepada yang lainnya. Maka, hendaklah
dibatasi sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula dengan ilmu-ilmu pasti atau
aksakta lainnya, dikaji sesuai dengan kebutuhan serta ilmu perbintangan yang
dapat memberi petunjuk arah mata angin dan arah kiblat.
Wallahu A'lam.
Pasal Keempat
Adab Guru dan Murid
Bagi seorang murid, memiliki banyak adab dan tugas. Dalam bahasan akan di
kelompokkan kepada tujuh bagian :
Tugas pertama : Mengutamakan kesucian jiwa dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Sabda
Rasulullah Saw,
بُنِيَ الدِّيْنُ عَلَى النَّظَّافَةِ.
Artinya, "Agama dibangun atas dasar (nilai-nilai) kebersihan."
Kebersihan yang dimaksud tidak hanya
terbatas pada pakaian atau yang nampak dzâhir saja, tetapi juga mencakup kebersihan hati. Hal ini
ditegaskan dalam firman Allah SWT, yang artinya, "Sesunggunya,
orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa)". Dijelaskan bahwa sifat
najis tidak hanya melekat pada pakaian saja. Siapa yang tidak mensucikan
hatinya dari kotoran-kotoran yang dapat mengotori jiwa, maka sesuai dengan
ajaran agama ilmu yang bermanfaat tidak akan menghampirinya, dan tidak akan
bersinar dengan cahaya ilmu.
Ibnu Mas'ud berkata, "Ilmu tidak dikenal dengan banyak riwayat,
akan tetapi ilmu adalah cahaya yang ditiupkan Allah SWT ke dalam hati."
Sebahagian peneliti berpandangan, "Kami telah menuntut ilmu tidak
atas nama Allah, maka ilmu enggan menghampiri orang yang niatnya tidak karena
Allah. Oleh karena itu, jika ilmu enggan dan sulit menghampiri kita, maka
hakekat ilmu yang sebenarnya tidak akan pernah tersingkap, sementara yang
sampai kepada kita hanya proses dan lafadz-lafadznya saja."
Tugas kedua : Mengurangi kesibukan-kesibukannya dan hijrah dari negerinya hingga hatinya
dapat terpusat dalam menuntut ilmu. Allah SWT tidak pernah menjadikan dalam
diri seseorang dua hati dalam satu rongga. Oleh karena itu, ada yang mengatakan
ilmu tidak akan mendatangimu hanya dengan sebagian, tapi semua akan
menghampirimu.
Tugas ketiga : Tidak bersifat angkuh dengan ilmu yang dimiliki. Tidak berdebat dengan
orang yang mengajarkan ilmu, akan tetapi patuh kepadanya sebagai pilihan
terakhir. Contohnya, seseorang yang mengindap penyakit terus-menerus. Si sakit
akan berobat kepada seorang tabib dan mengikuti saran dan perintahnya tanpa
mempermasalahkan jenis obat yang diberikan.
Hendaknya si murid tetapi berkhidmat kepada gurunya. Seperti dalam satu
riwayat bahwa Zaid bin Tsâbit berangkat menshalati suatu jenazah. Maka
(seseorang) menawarkan seekor kuda kecil kepadanya untuk dikendarai. Tiba-tiba
Ibnu Abbas datang dan membantu Zaid untuk mengendarai kuda kecil tersebut. Zaid
lalu berkata, biarkan (jangan repot) wahai anak paman Rasulullah Saw. Ibnu
Abbas lalu berkata, demikian apa yang diperintahkan kepada kami untuk
menghormati ulama dan orang-orang besar. Zaid menyapa tangan Ibnu Abbas, dan
berkata, demikian apa yang diperintahkan kepada kami untuk memperlakukan
keluarga Ahlu Bait Nabi Saw."
Bukan akhlak seorang muslim yang merayu-rayu mengupayakan sesuatu kecuali
dalam menuntut ilmu. Dikatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perang untuk
menang, seperti upaya perjuangan untuk mencapai tempat yang terhormat.
Tugas keempat : Menjaga diri dari mendengar perdebatan-perdebatan yang terjadi di
masyarakat, karena hal tersebut menyebabkan kebingungan. Selain itu, hati akan
berpaling dari keyakinan awal dan terpengaruh terhadap apa yang didengarkan.
Paling tidak menyebabkan kemalasan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi
pemula (orang awam) mengikuti kebiasaan-kebiasaan mereka. Dikhawatirkan mereka
akan seperti yang dimaksud dalam ungkapan berikut, "Siapa yang
mengikuti kami pada awalnya sebagai orang yang benar, dan pada akhirnya terpengaruh
dan menjadi Zindîqan (orang kafir yang berpura-pura sebagai muslim)."
Hal ini dikarenakan, mereka tidak lagi memperdulikan ibadah kecuali ibadah
fardhu. Mereka mengganti ibadah-ibadah sunnah dengan gerakan hati dan pandangan
rasio. Orang-orang lalai mengira usaha tersebut sebagai satu perjuangan. Dalam
firman Allah SWT, "Dan kamu
lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan."
Tugas kelima : Tidak memilih-milih ilmu yang bermanfaat hingga mengetahui maksudnya.
Bila cukup waktu mempejarinya, hendaknya disempurnakan. Jika tidak cukup waktu
dan kesempatan, maka harus mengutamakan bagian-bagian yang penting. Sementara,
mengutamakan yang penting tersebut dapat dilakukan setelah mengetahuinya secara
umum.
Tugas keenam : Mengalihkan perhatian kepada prioritas-priotas dalam menuntut ilmu,
yaitu ilmu akhirat. Yang berkaitan dengan ilmu akhirat adalah mu'amalat dan
mukâsyafat (ilmu yang dapat menyingkap kedekatan kepada Allah). Dengan
mu'amalat, dapat mengantarkan kepada ilmu mukâsyafat. Sementara, ilmu
mukâsyafat sendiri adalah ma'rifatullah (mengenal Allah secara dekat). Jenis
ilmu ini adalah cahaya yang ditiupkan Allah Ta'ala ke dalam hati seorang hamba
yang suci karena ibadah dan mujahadah (sungguh-sungguh dalam beribadah).
Demikian tingkat keberimanan yang dimiliki Abu Bakar al-Shiddîq radhiyallahu
'anhu, yang jika ditimbang tingkat keberimanannya dengan iman penduduk dunia,
maka akan masih lebih berat timbangan iman beliau. Jelasnya, adalah ilmu yang
melekat dalam hati, bukan dengan banyak alasan dan hujah-hujjah.
Mengherankan, jika ungkapan-ungkapan seperti ini yang didengar dari
Rasulullah saw, kemudian menyalahkan ungkapan-ungkapan yang bersumber dari kaum
sufi karena mereka telah menganggap bahwa kaum sufi batil. Berhati-hatilah
mengenai hal ini, karena dengan demikian engkau menafikan suatu dasar.
Oleh karena itu, berupayalah untuk mengetahui rahasia-rahasia ilmu yang
bersumber dari para fuqaha dan mutakallimin. Jangan engkau melakukannya kecuali
hanya ingin mengetahuinya. Ketahuilah, bahwa semulia-mulia tujuan ilmu adalah
Ma'rifatullah Ta'ala. Dia sungguh sangat luas, laksana lautan yang dasarnya
tidak terjangkau dan menempati derajat tertinggi. Tingkatannya dimulai dari
derajat dan kedudukan para Nabi, kemudian para Auliyâ, lalu ulama-ulama
setelahnya.
Diriwayatkan bahwa dalam suatu masjid, ada dua orang bijak yang ahli
ibadah. Salah seorang di antaranya menggenggam selembar kain yang bertuliskan, "Jika
engkau telah sepenuhnya berbuat baik, maka janganlah engkau mengira bahwa
engkau telah berbuat baik tentang sesuatu hingga engkau mengenal Allah SWT.
ketahuilah bahwasanya Allah Ta'ala yang menjadi penyebab pertama segala sebab
dan pencipta segala sesuatu". Sementara, ahli bijak lainnya
menggenggam selembar kain yang bertuliskan, "Dulu sebelum mengenal
Allah SWT, aku minum dan kenyang. Ketika mengenal-Nya, akupun kenyang tanpa
minum".
Tugas ketujuh, seorang murid seharusnya bertujuan untuk selalu menghiasi batinnya agar
sampai kepada Allah SWT, hingga
menempati tempat di sisi para malaikat al-muqarrabin (malaikat
yang dekat dengan-Nya). Bukan bemaksud untuk mencapai satu jabatan, harta benda
atau kedudukan, sebagaimana (dalam pandangannya) kedudukan mursyid atau guru
yang mengajarkannya. Justru tempat yang paling baik baginya, seperti yang
dimaksud dalam ungkapan berikut, "Orang yang mengetahui, mengamalkan
dan mengajarkan ilmunya".
Demikian itu yang dianggap sebagai tanda-tanda keagungan (yang ada
dilangit), dan tidak seperti sebatang jarum yang menusuk (bermanfaat bagi
lainnya) tapi dia sendiri nampak telanjang. Atau seperti sumbu lampu yang
berfungsi menyinari sekitarnya, tetapi dia sendiri terbakar. Dalam ungkapan
lain dikatakan,
صِرْتُ كَأَيِّ ذَبَالَةٍ تَضِيْئُ لِلنَّاسِ وَهِيَ تَحْتَرِقُ.
Aku menjadi laksana sumbu yang dipasang, Menyinari cahaya bagi manusia,
tapi, ia sendiri terbakar.
Tugas-Tugas Guru
Barang siapa yang menjalankan tugas sebagai pengajar, maka sungguh ia
memiliki peran yang besar. Oleh sebab itu, hendaklah ia memelihara tata krama
dan tugas-tugasnya, yaitu ;
Tugas pertama; Menunjukkan kasih sayang kepada murid dan mengganggapnya
sebagai anak sendiri. Rasulullah Saw, bersabda;
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ كَالْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
Artinya; "Sesungguhnya aku bagimu laksana ayah kepada anak-anaknya".
Bahkan guru adalah orang tua yang sebenarnya, karena bapak hanya sebagai
perantara seseorang lahir di alam fana ini, sedangkan guru bertugas mengarahkan
dan membimbing selama hidup di dunia. Oleh sebab itu, hak-hak guru lebih
diutamakan dari pada ayah dan ibu.
Belajar yang ditujukan untuk dunia belaka, akan menyebabkan kebinasaan.
Sebaliknya, jika diniatkan karena Allah Ta'ala, maka seharusnya para murid
saling mengasihi antara satu dengan lainnya. Sesungguhnya, para penuntut ilmu
dan orang-orang yang menghendaki kehidupan akhirat yang lebih baik berjalan
menuju kepada Allah SWT dan menempuh jalan yang ditetapkan. Adapun dunia
beserta perhitungan-perhitungan waktunya tahun dan bulan adalah hanya
tempat-tempat persinggahan. Para pelancong dan musafir saja yang bersama-sama
mengadakan perjalanan dari satu negara ke negara lainnya, diharuskan untuk
saling mencintai dan mengasihi, maka bagaimana pula perjalanan menuju Allah
Ta'ala dan surga firdaus yang tertinggi, dimana di sana tidak ada kesempitan.
Maka, hendaknya ia menghidarkan diri dari persaingan dan perselisihan. Firman
Allah SWT: "Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara".
Tugas kedua; meneladani perilaku Rasulullah Saw yang tidak pernah meminta
upah atas pengajaran (yang diberikan kepada para umatnya). Allah SWT berfirman,
"Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih." Meskipun, ia mempunyai atas mereka. Merekapun mempunyai
kepadanya karena dengan mereka, ia mengadakan pendekatan diri kepada Allah SWT
dengan mengajarkan ilmu dan iman dalam hati mereka.
Tugas ketiga; Tidak mengabaikan suatu nasehat, seperti melarangnya dari
mencari kedudukan sebelum patut memperolehnya dan melarangnya dari belajar ilmu
tersembunyi sebelum mempelajari ilmu-ilmu yang nampak.
Tugas keempat; Menasehati murid dan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan
tercela. Anjuran dalam melarang tidak secara langsung, tetapi dengan sindiran.
Setelah itu, seorang pengajar seyogyanya memiliki sifat istiqamah, kemudian
meminta kepada muridnya untuk istiqamah pula. Karena, bila tidak demikian, maka
nasehat tidak akan berguna, karena meneladani perbuatan lebih kuat daripada
mengikuti perkataan.
Pasal Kelima
Cacat-Cacat Ilmu Dan Tanda-Tanda Ulama Akhirat Dan Ulama-Ulama Dunia
Rasulullah Saw bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: عَالِمٌ لَايَنْفَعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ.
Artinya; "Manusia yang paling berat menerima azab pada hari kiamat
adalah orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya."
Di lain hadits, beliau bersabda, "Siapa yang bertambah ilmunya,
tetapi tidak bertambah petunjuk baginya, maka ia semakin jauh dari Allah
SWT."
Ketahuilah bahwa seorang ulama yang menekuni suatu ilmu, baginya dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah binasa, dan yang kedua memproleh
kebahagiaan yang kekal.
Khalil bin Ahmad berkata; "Manusia terbagi pada empat macam:
1. Orang yang tahu, dan dia tahu bahwa ia
mengetahui. Itulah orang yang berilmu, maka ikutilah dia.
2. Orang yang tahu, tetapi ia tidak tahu
bahwa ia mengetahui. Itulah orang yang lagi tidur, maka bangunkan dia.
3. Orang yang tidak tahu, tetapi ia tahu
bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang yang memerlukan bimbingan, maka ajari
dia.
4. Orang yang tidak tahu, dan ia tidak tahu
bahwa ia tidak mengetahui. Itulah orang bodoh, maka waspadalah kepadanya.
Sofyan berkata, "Ilmu memanggil amal, jika ia mengiyakan maka
ilmunya bermanfaat, tetapi bila tidak, maka ilmunya akan pergi".
Seperti firman Allah SWT, "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang
yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al
Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu...".
Ulama akhirat adalah mereka yang tidak terpengaruh godaan dunia dengan
mengorbankan agama, dan tidak menjual akhirat dengan dunia, karena mereka
mengetahui kemuliaan akhirat dan kehinaan dunia. Barang siapa yang tidak
mengetahui perbedaan antara dunia dan akhiat beserta dengan mudharatnya, maka
ia bukanlah seorang ulama. Dan siapa yang mengingkarinya, maka sungguh ia telah
mengingkari apa yang tertera dalam kitab al-Qur'an, sunnah Rasul berserta
seluruh kitab-kitab yang diturunkan Allah dan perkataan-perkataannya.
Siapa yang mengetahui hal di atas dan tidak melaksanakannya, maka ia adalah
tawanan syaithân dan telah dijerumuskan oleh hawa nafsunya sendiri serta diliputi
kesengsaraan. Siapa yang mengikutinya, maka ia telah binasa. Gambaran derajat
orang seperti ini, bagaimana mungkin bisa disebut sebagai ulama.
Allah SWT berfirman terhadap Nabi Dawud Alaih al-Salam; "Serendah-rendah
perilaku orang alim adalah jika ia lebih menyenangi syahwatnya daripada
mencintai-Ku. Aku haramkan ia dari kenikmatan bermunajat kepada-Ku. Wahai
Dawud, jangan bertanya kepada-Ku tentang orang alim yang dimabukkan oleh dunia
sehingga ia mencegahmu dari jalan untuk mencintai Aku. Mereka adalah para
penyamun hamba-hamba-Ku. Wahai Dawud, jika engkau melihat seorang penuntut
ilmu, maka jadilah engkau sebagai pelayan baginya. Seorang pelayan bagi
penuntut ilmu dan kembali kepada-Ku, maka Aku tetapkan dia sebagai orang
syahid. Dan siapa yang meninggal dalam keadaan syahid, Aku tidak akan
mengazabnya selama-lamanya."
Demikian pula Hasan berkata; "Hukuman buat ulama adalah matinya
hati. Sedangkan matinya hati disebabkan oleh pencarian dunia mengalahkan amalan
akhirat".
Umar radiyallahu 'anhu berkata; "Jika engkau menyaksikan ulama yang
cinta dunia, maka tuduhlah ia aats dasar agamamu. Karena setiap orang yang
mencinta akan larut kepada apa yang dicintainya."
Sementara Yahya bin Mu'adz al-Râzî berkata kepada golongan ulama dunia, "Wahai
orang-orang yang berilmu, istana kalian laksana istana-istana kaisar,
rumah-rumah kalian seperti rumah kisra, baju-baju kalian zahir,
kendaraan-kendaraan kalian seperti kendaraan Qarun, gelas-gelas kalian seperti
gelas Fir'aun, jamuan-jamuan kalian seperti jamuan Jahiliyah, dan mazhab-mazhab
kalian adalah mazhab syaithan. Lalu dimanakah mazhab risalah Muhammad?
Mereka bersya'ir, "Pengembala kambing melindunginya dari serangan
serigala. Bagaimana jadinya bila pengembala memiliki serigala-serigala".
Ada yang mengatakan, "Wahai para pembaca al'Qur'an, wahai garam
negeri. Garam tidak akan baik jika ia rusak".
Ketahuilah bahwa sifat yang pantas bagi seorang yang berilmu dan beragama
adalah sederhana dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan segala hal yang
terkait dengan penghidupannya di dunia. Dia tidak condong kepada kemewahan dan
tidak suka berfoya-foya. Juga tidak menghadapi kesenangan dunia bila tidak
mengantarkan menjadi seorang zuhud. Hendaknya, sedapat mungkin menghindarkan
diri bergaul dengan penguasa dan para orang-orang kaya untuk menjauhi fitnah.
Pasal Keenam
Akal dan Kemuliannya
Akal adalah sumber ilmu. Keutamaan
akal ditegaskan dalam hadits Rasulullah Saw, "Yang pertama kali
diciptakan Allah adalah akal." Kemudian Allah bertanya berkata kepada
akal, "Terimalah". Akal lalu menerimanya. Allah berkata lagi, "Aturlah."
Akal lalu mengatur (berpikir), dan berkata, "Tuhanku, Dzat Yang Maha
Agung, tidaklah Engkau menciptakan suatu mahluk yang lebih mulia daripada aku.
Dari-Mu aku mengambil, dan dari-Mu aku memberi. Dari-Mu aku meraih pahala, dan
dari-Mu aku mendapat hukuman."
Rasulullah Saw berkata, "Aku bertanya kepada Jibril apakah
kepemimpinan itu?" Jibril menjawab, "Akal."
Hakekat akal adalah kemuliaannya untuk mengetahui dan
memahami pengetahuan-pengetahuan teoritis. Akal laksana cahaya yang ditiupkan
ke dalam hati, sehingga dengannya manusia memahami sesuatu. Namun, kemampuan
akal (pada setiap manusia) bertingkat-tingkat sesuai dengan kekuatan untuk
berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar