MENAHAN NAFSU PERUT
DAN NAFSU DI BAWAH PERUT
Sumber segala penyakit itu berasal dari nafsu perut. Dari nafsu perut
itulah timbul nafsu bawah perut (kemaluan). Karena nafsu perut itulah Nabi Adam
as dikeluarkan dari surga. Dan akhirnya nafsu perut itu pula yang menyebabkan
seseorang mencari kemewahan dunia sampai ia lupa waktu.
Penjelasan tentang keutamaan lapar dan mencela rasa kenyang
Rasulullah Saw bersabda, “Perjuangkan diri kalian dengan lapar dan haus.
Karena pahalanya seperti pahala orang yang berjuang di jalan Allah. Tidak ada
suatu amal yang lebih disukai oleh Allah selain lapar dan haus.”
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Tidak diizinkan
masuk kerajaan langit orang yang penuh isi perutnya.”
Abu Sa`id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi Saw telah bersabda,
“Berpakaianlah, minumlah, dan makanlah sekedarnya saja. Karena hal demikian
termasuk bagian dari sifat kenabian.”
Hasan meriwayatkan bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Orang yang paling utama
kedudukannya di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling lama lapar
dan tafakkurnya. Dan orang yang paling dimurkai oleh Allah di antara kalian
adalah tiap orang yang suka tidur, suka makan, dan suka minum.”
Nabi Saw bersabda, “Sungguh, Allah Swt membanggakan orang yang sedikit makannya
di dunia di hadapan para malaikat." Allah berfirman: “Perhatikanlah
hamba-Ku yang Aku uji dengan makanan dan minuman hingga ia tidak menghiraukan
makanan dan minuman. Saksikanlah wahai para malaikat-Ku, tidak ada sesuap
makanan pun yang ia tinggalkan melainkan Aku ganti sesuap makanan tersebut
dengan beberapa derajat di surga.”
Abu Sulaiman berkata: Aku meninggalkan sesuap makanan di waktu makan malam,
niscaya lebih aku sukai daripada menghidupkan malam dengan tahajjud sampai
subuh.
Kami telah menjelaskan bahwa menahan nafsu makan itu menyebabkan hati
menjadi lembut, tapi menghilangkan sifat tamak dan sifat sombong.
Di antara faedah menahan nafsu makan adalah tidak lupa akan musibah dan
orang-orang yang sering mendapat ujian, serta dapat mengurangi segala nafsu.
Dengan menahan nafsu makan, maka ia dapat menguasai nafsu dan godaan syeitan
sehingga ia bisa mengendalikannya. Dengan menahan nafsu makan, maka seseorang
menjadi tahan tidak tidur. Karena itulah sebagian syeikh berkata di awal
perjalanan: Wahai orang-orang yang menginginkan (ridha Allah), janganlah
terlalu banyak makan, lalu jangan terlalu banyak minum, lalu jangan terlalu
banyak tidur, sehingga kalian tidak banyak merugi.
Dengan lapar, maka melaksanakan ibadah menjadi mudah. Tapi barang siapa yang
kekenyangan, maka ia menjadi malas untuk melakukan ibadah. Banyak makan
menyebabkan orang lebih banyak bersiap-siap untuk mencari rejeki dan memasak,
ia menjadi lebih banyak menyisihkan waktu untuk membasuh tangan, dan menjadi
sering bolak-balik masuk ke WC untuk buang air.
As-Sâri menceritakan tentang seorang syeikh: Konon ia menelan tepung yang
enak. Lalu ia ditanya tentang hal demikian. Ia pun menjawab: Sungguh, aku telah
menghitung antara kunyahan sampai ditelan sebanyak tujuh puluh tasbih. Tapi aku
tidak mengunyah roti sejak empat puluh tahun. Orang yang yakin bahwa setiap
jiwa itu permata yang sangat bernilai, maka ia tidak berani melepaskannya.
Di antara faedah lapar adalah kesehatan jiwa dan badan, karena orang yang
sedikit makannya, maka ia jarang sakit.
Di antara faedah lainnya adalah kemampuan untuk mendahulukan kepentingan
orang lain, dan memperoleh keutamannya.
Penjelasan tentang cara riyadhah dalam mengurangi nafsu makan
Setelah makanan menjadi halal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka seseorang mempunyai tiga tugas, yaitu: mengukur porsi makan, mengukur
waktu kecepatannya, dan menentukan jenis makanan.
Tugas yang pertama adalah mengurangi porsi makan. Maka cara yang ditempuh
adalah dengan bertahap. Jika seseorang langsung merubah porsi makan dari yang
banyak kepada yang sedikit, maka wataknya akan menjadi rusak. Jadi, lakukanlah
secara bertahap dengan cara mengukur dirinya masing-masing. Jika ia makan
setiap hari tiga potong roti, maka setiap hari dikurangi sepersepuluh dari sepertiganya
sepotong roti, dan ukuran demikian menjadi suatu bagian dari tiga puluh pada
sepotong roti. Sehingga dalam sebulan, pola makannya menjadi berkurang dari
sepotong roti. Dan dalam dua bulan, pola makannya sudah berkurang dari dua
potong roti. Hal demikian tidak menjadi berat baginya, dengan catatan ia terus
konsisten dengan tahapan porsi makannya. Dan sekarang ia mendapat beberapa
derajat, dan para pecinta kebenaran menjadi puas dengan porsi makan demikian
sesuai dengan tingkat kehidupan dan kadar akal. Itulah yang diisyaratkan oleh
sabda Nabi Saw yang berbunyi, “Manusia mengukur beberapa potongon roti yang
layak dengan hatinya.”
Derajat yang kedua: menolak nafsu dengan cara riyadhah, baik malam maupun
siang, sampai setengah mud atau sepotong roti, dan membubuhi sedikit manisan
dari empat bagian roti tersebut. Cara demikian hampir sama dengan kebiasaan
Umar ra, karena ia hanya makan sebanyak tujuh suapan atau sembilan suapan.
Derajat yang ketiga: menolak nafsu dengan cara riyadhah sampai pada ukuran
satu mud, yaitu dua potong roti ditambah setengah potong roti. Ukuran ini
melebihi sepertiga perut.
Derajat yang keempat: lebih dari satu mud ditambah dengan manis-manisan.
Ukuran ini sudah cukup banyak, dan selebihnya termasuk boros yang hampir masuk
dalam kriteria dari firman Allah Swt: “Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan.”
Ada juga cara yang lain, yaitu dengan membuka telapak tangan setelah lapar
dan menahannya sebelum kenyang. Akan tetapi cara ini berbahaya, karena bisa
saja orang yang melakukannya tidak nampak betul-betul lapar. Kadang dikatakan:
Lapar yang sesungguhnya tidaklah mencari-cari lauk pauk. Dan dikatakan juga:
Tidak perlu membedakan antara satu roti dengan roti lainnya.
Namun hal itu berbeda antara masing-masing individu. Tidak bisa ukurannya
ditentukan secara baku, akan tetapi setiap orang hendaknya melihat hak makannya
masing-masing.
Sahal berkata: Seandainya dunia ini darah, niscaya makanan pokok orang
mukmin dari dunia tersebut menjadi halal, niscaya orang mukmin hanya makan
ketika lapar saja, dan cukup hanya untuk membangun kekuatan dalam beribadah.
Tugas yang kedua adalah tentang waktu makan. Di antara orang-orang yang
menginginkan ridha Allah adalah orang yang mengembalikan riyadhah pada
substansinya, bukan pada ukuran makannya. Ada yang tidak makan selama tiga
hari. Dan ada juga yang tidak makan lebih dari tiga puluh atau empat puluh
hari. Di antara para tokohnya adalah Sulaiman al-Khawwash, Sahal bin Abdullah,
dan Ibrahim al-Khawwash.
Telah diriwayatkan bahwa seorang ulama berkata: Barang siapa yang tidak
makan selama empat puluh hari, maka sebagian rahasia ketuhanan akan tersingkap
untuknya.
Salah seorang ulama sufi pernah bertemu seorang pendeta. Lalu sufi tersebut
menceritakan pada pendeta tersebut tentang perihal dirinya. Dan ia ingin
pendeta tersebut masuk Islam. Lalu pendeta itu berkata padanya: Sesungguhnya,
al-Masih tidak makan selama empat puluh hari. Dan hal yang demikian itu
termasuk mukjizat yang hanya diberikan pada seorang nabi yang benar. Sufi itu
pun berkata: Jika aku tidak makan selama lima puluh hari, maka apakah engkau
mau meninggalkan agamamu dan masuk Islam? Pendeta tersebut menjawab: Iya, aku
akan masuk Islam, jika engkau mampu melakukannya. Lalu sufi itu pun tidak
beranjak dari tempatnya di mana si pendeta bisa melihatnya hingga sufi tersebut
mampu tidak makan selama lima puluh hari. Si pendeta berkata: Aku akan
menambahnya menjadi enam puluh hari. Sang sufi pun melaksanakannya, hingga
membuat si pendeta kagum menyaksikannya. Lalu pendeta itu berkata: Aku tidak
menyangka ada seseorang yang mampu melebihi al-Masih. Jadi kemampuan sufi
itulah yang menyebabkan pendeta masuk Islam. Kemampuan seperti ini sudah masuk
derajat yang tinggi, hanya bisa dicapai oleh orang yang hatinya sudah menerima
cahaya ilahi. Hatinya sibuk dengan musyahadah terhadap hal-hal yang membuatnya
terputus dari watak kemanusiaannya dan kebiasaannya. Ia telah menyempurnakan
jiwanya dalam merasakan kenikmatan lapar, dan ia lupa akan rasa laparnya dan
kebutuhan hidupnya, hingga ia menyantap makanan rohaniyyah dari alam gaib.
Itulah yang diisyaratkan oleh sabda Nabi Saw: “Aku bermalam di sisi Tuhanku.
Dialah yang memberiku makan dan minum.”
Derajat yang kedua: tidak makan selama dua hari sampai tiga hari. Tapi hal
ini masih wajar.
Derajat yang ketiga: mengurangi waktu makan hingga dalam sehari semalam
cuma sekali, dan ini paling sedikit. Abu Sa`id al-Khudri meriwayatkan: Apabila
Nabi Saw makan di waktu pagi hari (sarapan), maka malam harinya beliau tidak
makan. Dan apabila beliau makan di waktu malam, maka besok paginya beliau tidak
makan (sarapan).
Nabi Saw bersabda kepada Aisyah: “Hindarilah sikap berlebih-lebihan,
karena dua kali makan dalam sehari semalam sudah termasuk kategori
berlebih-lebihan.”
Pasal pertama:
penjelasan tentang perselisihan hukum mengurangi makan dan keutamaannya
Lapar yang terpuji adalah lapar yang tidak mengganggu kesibukan dalam
mengingat Allah Swt. Apabila sudah melampaui batas lapar, maka hal demikian
sudah mengganggu, terkecuali terhadap orang yang sudah dikuasai oleh nafsu
makan yang besar, maka sebaiknya ia mengurangi nafsu makannya. Namun jika tidak
demikian, maka sebaiknya-baiknya perkara adalah mengambil jalan tengahnya saja.
Kemudian untuk mengurangi nafsu makan ini, ada dua efek negatif yang mesti
diwaspadai, yaitu: Pertama, bisa jadi ia makan di tempat yang sepi hingga ia
tidak perlu makan lagi ketika berkumpul dengan orang banyak. Hal ini termasuk
syirik khafi (terselubung), dan mungkin saja tipe orang seperti ini
telah dihinggapi sifat munafik. Efek yang kedua, ia pasti mengetahui porsi
makan yang sedikit dan menjaga harga dirinya (`iffah). Ia telah
meninggalkan efek negatif yang ringan, dan melakukan efek negatif yang lebih
besar lagi yaitu kedudukan sosial dan popularitas.
Abu Sulaiman berkata: Apabila engkau berada dalam kondisi bernafsu,
sedangkan engkau tadinya telah melepaskannya, maka nafsu itu sedikit telah
merasuki dirimu, dan jangan serahkan dirimu pada nafsu tersebut sampai ke ujung
pangkalnya sehingga nafsu tersebut menjadi berkurang dalam dirimu, karena
engkau tidak memberikan apa yang disenangi oleh nafsu anda. Jadi, cara demikian
itulah yang bisa menghalangi nafsu datang pada dirimu.
Ja`far ash-Shadiq berkata: Apabila aku berada dalam keadaan bernafsu, maka
aku lihat dulu diriku. Jika nafsu itu muncul pada diriku, maka aku biarkan ia
masuk ke dalam diriku, dan hal ini lebih baik daripada menolaknya. Tapi jika
aku khawatir dengan nafsuku dan aku tidak menyukainya, maka aku menghukum dirku
dengan cara meninggalkan nafsu tersebut sampai aku tidak memiliki nafsu sama
sekali. Inilah cara menghukum diri sendiri akibat nafsu yang timbul padanya.
Orang yang meninggalkan nafsu makan
sehingga menimbulkan riya` dalam dirinya, maka ia seperti orang yang lari dari
bahaya kalajengking, dan minta tolong dengan ular.
Bagian kedua dari bab ini adalah tentang mengurangi nafsu syahwat Ketahuilah bahwa kenikmatan bersetubuh itu telah merasuki
nafsu manusia karena dua faedah: Pertama, untuk merasakan kenikmatannya, maka
mengukurnya dengan kenikmatan di akhirat, karena kenikmatannya lebih dahsyat
daripada kenikmatan fisik selama kenikmatannya masih terasa. Seperti halnya
siksa neraka juga lebih pedih daripada derita fisik.
Faedah yang kedua adalah untuk meneruskan keturunan. Akan tetapi selain
kedua faedah ini ada sesuatu yang dapat merusak agama dan urusan dunia jika
tidak dikontrol dan tidak dilakukan secara wajar.
Ada yang mengatakan bahwa makna firman Allah Swt dalam ayat: “Ya Tuhan
Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya."
adalah nafsu seksual.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna firman Allah Swt dalam ayat: “Dan
dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.” adalah ereksi. Sebagian
perawi menyandarkan (sanad) riwayat tersebut sampai kepada Rasulullah Saw.
Nabi Saw pernah bersabda: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan pendengaranku, penglihatanku, hatiku, dan maniku.”
Nabi Saw juga pernah bersabda: “Perempuan itu talinya setan.” Dan
seandainya bukan karena nafsu syahwat, maka tidaklah demikian halnya.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ketika Nabi Musa as sedang duduk di
tempat peraduannya, tiba-tiba iblis datang memakai jubah panjang yang bertutup
kepala dengan penuh warna-warni. Ketika iblis sudah dekat dengannya, ia
meletakkan jubahnya kemudian menghampirinya dan berkata: Semoga keselamatan
tercurah padamu. Lalu Nabi Musa bertanya padanya: Siapa engkau? Iblis menjawab:
Aku iblis. Nabi Musa pun berkata: Semoga Allah tidak memberimu kehidupan. Apa
yang membuatmu datang kemari? Iblis menjawab: Aku datang ke sini untuk
mengucapkan selamat kepadamu atas kedudukanmu yang dianugerahkan oleh Allah
Swt. Lalu Nabi Musa bertanya: Lantas untuk apa jubah yang engkau kenakan itu?
Iblis pun menjawab: Dengan jubah inilah aku mencuri hati manusia. Nabi Musa bertanya
kembali: Lalu apa yang dilakukan manusia, jika ia telah tergoda? Iblis
menjawab: Apabila dirinya sendiri telah membuat kagum dan ia memperbanyak
amalnya serta lupa dengan dosa-dosanya, sedangkan aku memperingatkanmu tiga
hal: Pertama, jangan engkau menyendiri dengan seorang perempuan yang bukan
muhrimmu. Karena ketka seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan,
maka aku menemaninya sampai aku bisa menggodanya. Kedua, janganlah engkau
membuat suatu (ikatan) perjanjian dengan Allah terkecuali jika engkau mampu
melaksanakannya. Ketiga, janganlah engkau mengeluarkan sedekah terkecuali
engkau mampu melakukannya. Karena ketika seseorang ingin mengeluarkan sedekah
tapi ia belum melakukannya, maka aku menemaninya sampai aku bisa menghalanginya
untuk mengeluarkan sedekahnya, kemudian ia tidak jadi bersedekah. Lalu iblis
berkata: Aduh celaka, Musa sudah mengetahui rencana tindakanku terhadap seluruh
manusia.
Persoalan tentang orang yang memiliki nafsu berakhir sampai ia merindukan
tempat yang khusus, hingga ia tidak ingin melaksanakan keinginannya kecuali
dari tempat tersebut. Hal seperti itu melebihi sifat kebinatangan, dan sifat
ini tercela, sedangkan perilaku berlebih-lebihan itu selamanya tercela, yaitu
kekalahan nafsu sampai pada suatu batas di mana akal disia-siakan, dan
ketiadaan nafsu secara total sebenarnya juga tercela.
Sebaiknya-baiknya perkara adalah mengambil jalan tengahnya saja. Walaupun
nafsu sudah melampaui batas, maka kurangilah dengan cara mengurangi makan atau
dengan menikah.
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai para anak muda, kalian harus mampu
memberi nafkah lahir dan batin. Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.”
Penjelasan tentang
hal yang mesti dilakukan dalam menikah atau tidak menikah
Orang yang menghendaki ridha Allah sebaiknya tidak menyibukkan dirinya
dalam memulai perkaranya dengan perkawinan. Karena hal demikian akan menggangu
konsentrasi mengingat Allah Swt, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Abu Sulaiman ad-Darani juga pernah berkata: Barangsiapa yang telah kawin,
maka ia akan cenderung kepada dunia. Dan ia berkata: Aku tidak menemukan
seorang yang menghendaki ridha Allah, yang sudah menikah bahwa ia akan tetap
seperti halnya di saat dia belum kawin. Jika engkau mengukur dirimu dengan
Rasulullah Saw, maka engkau sudah salah kaprah. Karena Nabi Saw tidak bisa
disibukkan oleh urusan dunia dan urusan akhirat. Itulah yang diisyaratkan dalam
firman Allah Swt yang berbunyi,
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا
طَغَى.
Artinya, “Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.”
Beliau tidaklah disibukkan oleh suatu apa pun dari mengingat Allah. Jadi,
sekalipun engkau telah dikuasai oleh nafsu syahwat, maka sebaiknya engkau
berpuasa, mengurangi makan dan minum, serta mengurangi tidur.
Pada umumnya nafsu itu dapat ditekan dengan cara demikian. Jika nafsu sudah
melampaui batas, menyalahi aturan, dan tidak mampu menjaga mata, maka ia wajib
dengan aturan yang khusus untuk menikah agar ia bisa tenang. Jika ia tidak
menikah, maka orang yang tidak mampu menjaga mata, ia juga tidak mampu menjaga
hati. Apabila ia enggan untuk menikah, maka tidak ada gunanya ia membujang,
bahkan dikhawatirkan ia seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa as: “Waspadalah
dengan pandangan mata, karena pandangan itu dapat menumbuhkan nafsu syahwat di
dalam hati, dan ia sudah cukup tergoda.”
Sa`id bin Jubair berkata: Sebenarnya Nabi Dawud tergoda itu hanya karena
pandangan mata.
Nabi Dawud as pernah berpesan pada anaknya: Wahai anakku, jalanlah di
belakang singa, dan jangan berjalan di belakang seorang perempuan.
Nabi Yahya bin Zakaria pernah ditanya: Apa awal permulaan zina? Nabi Yahya
as pun menjawab: Pandangan mata dan berangan–angan. Jika ia betul- betul tidak
dituntut oleh nafsunya di mana ia tidak mampu menguranginya, maka hendaknya ia
tidak menikah.
Telah diriwayatkan bahwa Muhammad bin Sulaiman telah memiliki penghasilan
sebanyak delapan puluh ribu dirham setiap harinya. Kemudian ia mengirim surat
kepada penduduk Basrah dan para ulamanya tentang seorang perempuan yang ingin
dikawininya. Lalu berkumpullah mereka semua menemui Rabi`ah al-`Adawiyah. Isi
suratnya adalah sebagai berikut: Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Amma ba`du.
Sesungguhnya Allah Swt telah menganugerahiku penghasilan dari dunia sebanyak
delapan puluh dirham setiap harinya. Tiada hari berlalu hingga aku
menyempurnakannya menjadi seratus ribu dirham. Dan aku menjadikan untukmu
seperti itu, dan seperti itu. Mohon surat ini dibalas. Lalu Rabi`ah al-`Adawiyah
menulis surat kepadanya: Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Amma ba`du.
Sesungguhnya zuhud terhadap dunia itu membuat badan menjadi nyaman. Sedangkan
hasrat untuk mendapatkan dunia itu bisa menyebabkan kesukaran dan kesedihan.
Jadi, apabila suratku ini sudah sampai di tanganmu, maka persiapkanlah bekalmu,
dan persembahkanlah untuk akhiratmu. Jadilah engkau pemberi wasiat pada dirimu
sendiri. Dan jangan menjadikan kaum laki-laki sebagai pemberi wasiatmu, hingga
ia membagi-bagikan harta warisanmu. Berpuasalah selama setahun. Dan jadikanlah
fitrahmu sebagai maut. Adapun diriku, seandainya Allah Swt menganugerahiku
berlipat-lipat dari apa yang Ia anugerahkan untukmu beserta kelipatannya, maka
hal itu tidaklah membuatku gembira sehingga aku lupa untuk mengingat Allah Swt
sedetik pun. Jadi, di sini jelas bahwa tidak ada jalan menuju hal yang membuat
lupa untuk mengingat Allah.
Pasal yang ketiga
Penjelasan tentang orang yang menentang nafsu syahwat
Kemampuan menentang nafsu syahwat termasuk menjaga diri. Demikian itu lebih
utama dan sederajat dengan para pecinta kebenaran. Nabi Saw juga pernah
bersabda: “Barangsiapa yang bergejolak nafsunya, lalu ia menjaga diri, lalu ia
simpan di hati, lalu ia mati, maka ia mati syahid.”
Nabi Saw bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
Artinya, “Ada
tujuh orang yang dinaungi oleh Allah di hari tidak ada naungan selain
naungan-Nya." Dan salah satu dari mereka adalah laki-laki yang
dipanggil seorang perempuan yang cantik untuk melayaninya. Tapi laki-laki itu
menjawab, "Sungguh, aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”
Telah diriwayatkan bahwa Sulaiman bin Yasar konon
memiliki wajah yang tampan. Lalu ia didatangi oleh seorang perempuan. Lalu
perempuan itu memintanya untuk memenuhi hasratnya, maka ia menolaknya dan ia
lari keluar dari rumahnya meninggalkan perempuan tadi. Sulaiman berkata: Aku
bermimpi bertemu Nabi Yusuf as, dan seakan-akan aku bertanya padanya: Apakah
engkau Nabi Yusuf? Nabi Yusuf menjawab: Betul, aku Yusuf yang menginginkan
wanita, sedangkan engkau Sulaiman tidak menginginkan wanita.” Wallahu a`lam.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus